BAB 2. SETINGGI BINTANG DI LANGIT
SEJAK
Traktat Patha berlaku (1064), Patha
tumbuh berkembang menjadi “dunia budaya.”
Kalau Nalanda di Tanah Hindi dan Sriwijaya terkenal sebagai pusat ilmiah
dan agama Buddha,1 Patha masyur dengan Pentas Seni-nya. Beberapa Sanggar Seni-Budaya berdiri di Patha.
Seni tari, seni permainan rakyat, seni lagu-lagu daerah bahkan seni perang dikaji
dan dipelajari di Patha.
Tiap
purnama raya, alun-alun kota raja Patha ramai dengan kegiatan Pentas Seni
Patha. Begitu pun kali ini, purnama raya tahun 1260, kegiatan yang berlangsung
seminggu penuh itu ramai pengunjung dan insan seni. Kegiatan ini memang dicanangkan
universal dan non-politis, begitu ketentuan Raja Patha. Maka para empu dan duta
seni yang hadir sebagai peserta kegiatan juga dari segenap penjuru
Swarnadwipa. Dan para duta tuan rumah
tentu mati-matian berusaha tampil prima. Maklum penonton bukan hanya warga
Patha, tetapi dari segenap pelosok Swarnadwipa.
Pada
hari ke tiga, seorang laki-laki setengah umur duduk menonton keramaian dengan
diam-diam, dari sebuah kedai yang letaknya belasan meter dari panggung besar.
Ia duduk menghadap segelas besar tuak, tetapi -- si pemilik kedai dengan heran
menyaksikannya—sudah hampir dua jam belum juga diteguknya minuman keras itu.
Pakaiannya
biasa saja, seperti orang kebanyakan. Penampilannya tidak menarik perhatian, terlalu sederhana. Tidak ada perhiasan melekat di tubuhnya. Hanya satu
kejanggalan orang itu, kulitnya terlalu bersih sebenarnya untuk ukuran
rakyat jelata yang biasa bermandi
keringat bercampur debu. Sayang mukanya tidak tampak jelas, sebagian tertutup oleh caping lebar. Tak ada orang yang
perduli dengan kehadirannya. Padahal kalau saja orang tahu nama laki-laki itu,
siapapun pasti terkejut. Laki-laki setengah baya itu adalah orang nomor dua di
Patha, yakni Mapatih Datuk
Sapuan Sadu!
selanjutnya kunjungi WEBSITE kami untuk membaca sampai selesai atau membelinya agar dapat mendownloadnya dalam format PDF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar